JIHAD INI…

7 Jan 2009

OLEH : Asy-Syifa
Aku dengar kamu udah bosan sama aku? Kenapa? Kalau benar kamu udah mau putus, ya, udah. Terserah kamu!
0852×××
Sms ini mendarat di handphoneku. Aku kaget sebenarnya. Siangnya di sekolah, aku memang sempat curhat sam Zis, sahabat karibku. Aku tidak menyangka Zis menceritakan curhatku sama orang lain.
Kenapa? Yang bilang sama kamu siapa?
0852×××
Ya, udahlah, kamu nggak usah tahu siapa yang kasih tahu aku. Sekarang keputusan kamu gimana?
0852×××
Sebenarnya yang dikatakan Asyam–pacarku,sebut saja begitu–benar. Aku sudah bosan pacaran walaupun itu yang

pertama kalinya. Toh, perasaan tidak ada manfaatnya. Aku gantung pertanyaan Asyam. Entah aku harus jawab apa. Aku masih merasa sayang sama dia. Tapi sayang seperti apa, aku juga kurang tahu…. Apa mungkin hanya karena terbiasa dia ada dalam kehidupanku dua tahun terakhir ini?
Dalam Islam tidak dikenal istilah pacaran, bahkan pacaran yang seperti diketahui selama ini dilarang dalam Islam karena mengandung banyak pelanggaran, diantaranya:
Memandang lawan jenis yang bukan mahram
menyentuh lawan jenis yang bukan mahram
berkhalwat (berduaan) dengan lawan jenis yang bukan mahram
Demikianlh potongan bulletin yang aku baca. Ini mengejutkanku. Aku baru tahu pacaran itu tidak diperbolehkan dalam Islam!
Beberapa hari setelah itu, aku tidak pernah saling bertegur sapa ataupun hanya melihat wajah Asyam. Meliriknya bahkan aku tidak berkenan. Usia pacaran kami sebenarnya baru dua pekan, dulu, dia adalah sahabat karibku. Entahlah, lama-lama persahabatan itu berubah status jadi ‘pacaran’.
Semakin lama, semakin banyak fakta bermunculan di depan mataku. Pacaran tidak boleh, pacaran tidak boleh, dan pacaran tidak boleh!
Para sahabat–sahabatku dan Asyam–sangat menentang keputusanku untuk memutuskan hubungan dengan Asyam. Katanya, aku jahat, menyakiti perasaan anak orang yang benar-benar cinta sama aku. Fiuh… aku bingung!
Hari itu datang. Tekadku sudah bulat. Akan kuputuskan hubunganku dengan Asyam. Harus! Aku masih ingat, hari itu 27 Juli 2008, tepat dua puluh lima hari aku pacaran sama Asyam. Dan hari itu kuputuskan hubunganku dengan Asyam dengan kata-kata yang kuharap tidak terlalu sadis.
Setelah hari itu, bicara sama Asyam pun tidak pernah. Jika lewat di depanku, aku akan menundukkan pandanganku dan berusaha tetap teguh pada pendirian yang telah kupegang. Aku tidak akan pacaran lagi.
Aku, masih remaja. Banyak tantangan di depan mata yang harus kuhadapi, utamanya cinta. Tapi aku harus tahu, ada cinta yang lebih hakiki, cinta yang sejati, yang tak akan pudar selamanya. Cinta Allah. Cinta yang lebih indah dari cinta mana pun.
Setelah itu, aku sering membaca buku-buku Islami. Dan berusaha menjadi muslimah sejati.
Wuzzz….
Akhirnya aku tahu! Siapa-siapa saja yang termasuk mahramku! Dan aku sadar, guru laki-laki di sekolah bukanlah termasuk mahramku! Aku pun mulai mempersiapkan diri. Tahulah, setiap pagi, di sekolahku, di depan pintu gerbang, guru laki-laki dan perempuan berdiri hendak disalami. Hari itu juga, aku masih kelas satu SMA, aku berada di depan pintu gerbang, guru sudah menyodorkan tangannya dan aku tidak menyalaminya, melainkan mengucapkan salam, menyatukan kedua telapak tanganku di depan dada.
Hari pertama aku melakukan itu, tidak terjadi apap-apa. Kurasa jihadku berhasil. Hari itu aku hanya bias tersenyum dan mengucapakn hamdalah berkali-kali. Demikian juga hari-hari berikutnya.
Sampai pada suatu hari, aku dicegat di depan pintu gerbang. Mungkin guru-guru heran melihat tingkahku. Aku ditanyai ini-itu. Pertama, aku kelas berapa. Kedua, namaku siapa. Ketiga… kenapa aku tidak mau salaman?
“Begini, Pak, sabda Rasulullah…”
“Stop! Kamu ikut aliran apa sih?” kata guru laki-laki itu memotong. Setahuku dia guru pendidikan agama Islam.
Aliran? Maksud dia apa? Bukankah dia harusnya lebih tahu? Dia kan guru agama? Darahku mendesir saat itu. Aku marah, tapi kuredam dengan banyak istigfar dalam hati. Allah tidak suka orang yang pemarah. Aku mengatur nafasku, mataku sudah mau berair, tapi aku tidak ingin terlihat lemah.
“Dengar ya, Nak. Guru itu seperti halnya bapak kamu, jadi tidak apa-apa.”
Aku mendengarnya samara-samar. Aku tidak peduli dia mau bilang apa. Aku masih tidak terima. Menurutku dia tidak mencintai Rasulullah sallallaahu alaihi wasallam sedikitpun. Aku muak. Astagfirullah.
Besoknya aku datang lewat belakang sekolah, samping sekolah, semuanya terkunci! Terpaksa aku lewat depan sekolah dan salaman. Mataku berkaca-kaca saat itu. Rasanya aku ingin memotong tanganku saja, tapi tangan ini bukan milikku. Najis rasanya! Aku mengelap tanganku berkali-kali. Hiks….
Hari-hari berikutnya aku datang lebih pagi. Guru-guru belum datang jam segitu. Dan berlanjut terus seperti itu.
Naik kelas dua, aku masih gencar mencari ilmu. Tiba saatnya aku mendapat hadist larangan memakai parfum bagi perempuan. Sulit! Bertahun-tahun aku bergantung dengan parfum. Tapi aku berusaha untuk tidak memakainya. Berhasil! Horeee. Semenjak hari itu, aku tidak memakai parfum lagi.
Horeee…. Aku ketemu akhwat!
Teman sekolahku sendiri. Dia yang memberitahuku bahwa ada temapt tarbiah dekat sekolah, seminggu sekali. Aku sebenarnya tidak tahu tarbiah itu apa, tapi… katanya seperti tempat pengajian gitu deh…. Nah, di tempat tarbiah ini aku ikut tarbiah. Aku ketemu dengan akhwat-akhwat yang cantik banget. Mereka sudah memakai jilbab, tidak sepertiku yang hanya memakai kerudung kecil. Teman sekelasku yang ngajakin tarbiah juga pakai kerudung, tapi yang lebar dan panjang. Dari sinilah ilmuku kian bertambah walau bias dibilang masih cetek.
Aku tidak pernah tahu kalu orang menutup aurat itu tidak boleh kelihatan bentuk tubuhnya. Jadi menyesal rasanya selalu memakai celana jins ketat. Nah, aku pindah ke rok. Walaupun masih kikuk pakai rok, karena selama hidup aku tidak pernah memakai rok. Bahkan aku pernah bilang sama mama,
“Walaupun rok itu harganya sejuta, aku juga nggak akan pakai. Jangan pernag beliin aku rok!”
Tapi sekarang? He… he… aku merengek ingin dibelikan rok, karena kalau keluar rumah aku Cuma bias pakai rok sekolah. Kabar jinsku? Tidak kupakai lagi. Aku sekarang risih pakai celana! Celana olahraga yang longgar aja aku risih, apa lagi jins ketat? Tidakkk….
Setelah jins, giliran kerudung kecilku yang biki risih. Wuih… pandangan orang–apalagi kaum lelaki–jadi serasa beda. Menjijikkan. Tidakkk! Aku haruus panjangin kerudungku! Setidaknya menutupi dada. Wah, ademnya…
Tidak lama perasaan aneh itu muncul lagi ‘kerudungku kurang panjang’. Nah, aku panjangin sampai ke pinggang. Tahu nggak? Mama nggak suka liat kerudungku yang kayak gini. Tapi mama mana pun pasti luluh. Toh, dia tahu, kalau aku sudah tekad, aku tidak akan menghiraukan siapa pun!
Tiba saatnya perasaan aneh itu muncul di dalam rumah. Rasanya repooot banget kalau ada laki-laki dating dan bukan mahram aku, aku harus cepat-cepat memakai kerudung dan kaos kakiku. Nah, karena kerepotan, pada tanggal 1 Ramadhan 1429, aku mulai pakai kerudung di dalam rumah. Aku masih ingat subuh itu, aku menaruh kerudung di depan mataku dan berdoa,
“Bismillaahirrahmaanirrahiim. Ya, Allah, buatlah kerudung ini betah di kapala hamba. Bulatkanlah tekad hamba, ya, Allah. Amiin. Bismillaahirrahmaanirrahiim.”
Lalu aku memakainya. Cobaanya bukan aku kepanasan. Tapi orang rumah yang malah gerah dan merasa risih aku memakai penutup kepala di dalam rumah.aku tertekan juga rasanya terus ditanggepin dengan wajah dan kata-kata yang tidak setuju.. hamper saja aku copot kerudungku di dalam rumah. Tapi kalau tekad sudah bulat dan sepertinya doaku terkabul, aku akan dan harus melewatinya dengan iman, apa pun itu. Nah, sekarang orang di rumah sudah terbiasa dengan penampilanku.
Aku harap kerudung ini suatu saat berubah jadi jilbab. Secepatnya. Amiin. Kuharapkan doa dari saudara semua.
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

assalamu'alaykum ukhti...

smoga kita diistiqomahkan di jalan-NYA..

amin...