AKU CINTA KAMU MAMA, BAGIAN II

10 Nov 2011

Senin, 20-24 Juni 2011
Aku telah memperkenalkan mamaku di bagian pertama. Sekarang, ingin kuceritakan betapa bangga aku memilikinya....

Suatu hari, mama tahu bahwa ia hamil lagi, hamil anaknya yang kedua. Di masa kehamilan itu, mama tidak suka makan daging. Untuk membaca kata “daging” saja mama mual. Kasihan, menderita sekali.

Ketika kehamilannya cukup sembilan bulan, mama pun sudah siap melahirkan anak keduanya itu tanpa suami di sisinya. Saat itu mama berada di rumah orang tuanya, bapak berada di Ujung Pandang bekerja. Malam gelap, hujan turun, mama kesakitan. Dipanggillah orang yang biasa membantu kelahiran.

Malam begitu mencekam. Datanglah pertengahan malam, anaknya belum lahir juga. Tiba-tiba... mati lampu!
Terpaksa pakai lilin.

Aku bertanya pada mama apakah masih mati lampu saat aku dilahirkan, mama bilang begini...

“Iya, sampai kamu lahir masih mati lampu. Kami pakai lilin. Siapa suruh kamu tidak mau keluar saat lampu masih menyala.”
Hehehe, mama lucu, nih.... Bapak pun menambahkan...

“Oh, mungkin karena itu kamu sampai sekarang pemalu. Kamu tidak mau keluar saat lampu menyala.”
Hehehe, ini lebih lucu lagi.

Anak pertamanya tidak sesusah ini dilahirkan. Kenapa anak ke duanya sulit sekali?
Setelah melewati malam dan kesakitan yang panjang, alhamduliLLAH.... hari itu tanggal 15 Februari 1992 pukul 05.10 WITA, anaknya pun lahir.

Itulah sepenggal cerita tentang detik-detik kelahiranku. Kesulitan yang tidak dapat kubayangkan, kesulitan yang bertambah-tambah. Di antara hidup dan mati, mama berjuang. Sang pejuang yang bernama mama ini membuat cintaku juga bertambah-tambah...

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Qs. Luqman [31] : 14)

Sejak bayi, aku sangat sering menangis. Bahkan, saat mama memangkuku di mobil saat pulang kampung, aku menangis mulai dari mobil jalan sampai tiba di kampung. Wah, kampungku sejauh empat jam perjalanan, loh....

Ketika menginjak usia kanak-kanak, aku paling jago ngambek. Aku akan mengunci kamar sambil menangis seharian. Menendang semua barang. Merusak. Dan sebagainya, dan sebagainya, dan sebagainya.

Akan kuceritakan dua buah cerita lucu...
POTONG RAMBUT
Waktu aku kecil, mama sangat tidak senang melihat rambutku panjang. Menurutnya sangat mengganggu ruang gerakku. Jadi, panjang sedikit saja, rambutku langsung dipotong, entah di salon atau mama sendiri yang memotongkannya untukku.
Suatu hari, mama melihat rambutku telah panjang lagi. Seperti biasanya, mama sangat gemas melihat rambutku yang melewati bahu. Dengan sedikit dipaksa, mama pun mengajakku ke salon untuk memotong rambutku. Sebelum dipotong, sudah kuwanti-wanti kepada mama dan si tukang potong rambut, “Jangan terlalu pendek, yah...,” begitu aku mengingatkan.

Setelah rambutku dipotong, kulihat bayanganku di cermin. Dan... hah???
Pendek sekali, rambutku hanya sebatas telinga, lewat sedikit sih, tapi tetap saja pendek. Jelek! Jelek! Jelek! Pokoknya jeleeeeeeek.
Aku ngambek...
Paginya, aku tidak mau pergi ke sekolah.
Sekali tidak tetap tidak, ah, dasar aku keras kepala.
Aku menangis sejadi-jadinya. Malu....

Mama adalah seorang ibu yang sangat memperhatikan pendidikan. Mama pernah bilang begini...

“Mama mau anak mama sekolah setinggi-tingginya, harus melebihi mama dan bapak.”
Hari itu mama memaksaku ke sekolah. Aku yang telah berseragam ditarik ke jalan untuk pergi ke sekolah. Aku yang waktu itu masih menangis tidak mau ke sekolah dank eras kepala!

Di pertengahan jalan mama pulang dan aku ke sekolah sendirian (sejak TK sebenarnya aku memang tidak pernah diantar ke sekolah, kecuali hari pertama masuk sekolah, jadi waktu TK diantar hanya sekali, di SD aku diantar saat kelas 1 SD).

Saat mama sampai di rumah, aku juga sampai di rumah. Aku tidak mau sekolah, malu!
Mama lagi-lagi menarikku sampai ke pertengahan jalan, aku masih menangis, tidak mau ke sekolah. Kejadian itu kira-kira berlangsung tiga kali. Dan akhirnya, aku tidak ke sekolah hari itu.

Besoknya, aku yang dari kecil sudah cinta dengan sekolah, bingung! Kutatap rambutku di cermin. Ke sekolah tidak, ya? Lama berpikir, kusisir rambutku belah samping lalu kusematkan jepitan rambut ungu yang mungil, berharap sedikit perubahan. Akhirnya, dengan rasa takut diejek sama teman-teman, aku berangkat ke sekolah.

Di sekolah...
“Kamu cantik!” Begitu kata salah seorang temanku di sekolah saat pertama kali melihatku, senangnya... (dasar perempuan, senang dipuji). Pulang ke rumah, kuceritakan pada mama dan yang lainnya kejadian tadi....
Hehehe, aku diledekin habis-habisan.

“Nah, kan, teman kamu bilang cantik. Kemarin malah menangis tidak mau pergi ke sekolah. Sampai ditarik beberapa kali lagi.”
Hmm, mamaku memang is the best lah...

KABURRRR
Suatu hari ketika aku masih SD, entah untuk yang ke berapa puluh kalinya aku ngambek. Lupa, hari itu apa sebabnya aku lagi-lagi mengunci pintu kamar mama. Kubuka seprai kasur lalu kulempar ke lantai. Kulempar juga bantal dan gulingnya ke lantai. Kutendangi lemari mama. Kubongkar barang-barang.

Hari itu aku sangat marah. Kuambil tas kecil bundar dengan motif bunga-bunga warna-warni. Kuisi dengan banyak barang. Baju hadiah om dari Jakarta (bisa kujual, pikirku) dan lain-lainnya (lupa). Ah, dasar anak-anak..., pikirannya aneh-aneh, banyak nonton film sih....
Aku merapikan kembali kasur dan bantal-bantalnya. Kurapikan semuanya seperti semula (ngambek yang aneh) kemudian keluar dari kamar dengan mata sembab.

Aku lupa lanjutan ceritanya, tapi akan dilanjutkan oleh omku yang menjadi saksi mata waktu itu…
“Kamu lari sampai ke toko dekat rumah dengan bundarmu itu. Kamu ditarik pulang. Pas sampai di rumah, kami bongkas tas itu, dan isinya…, sisir, baju beberapa, dll…”
Hehehe…
Dasar aneh akunya ini…

Mama adalah pejuang yang paling hebat yang pernah kutemui. Mama adalah si penyabar. Mamaku setegar batu karang. Mamaku dapat memecahkan ombak. Satu rahasia, mamaku kaway....

Semoga bermanfaat, waLLAHU a’lam...

Lanjutan dari bagian I

0 komentar: