CARA NAIK ANGKOT ALA SYIFAA’

31 Jan 2011



Tempat kuliahku jauh dari rumah, tentu tidak bisa jalan kaki ke sana. Tiap hari terpaksa harus pakai angkot—angkutan kota—pulang pergi kuliah. Maklumlah, tidak ada kendaraan. Kalaupun ada, tidak ada yang bisa mengantarku, aku juga tidak bisa mengendarai motor bahkan sepeda biasa.

Hfff, banyak sekali masalah yang harus kualami tiap naik angkot, mulai dari ikhtilath-nya yang tidak bisa dihindari, tempat duduknya yang sebagian orang belum mengerti kalau Muslimin dan Muslimat itu tidak halal hukumnya bersentuhan—dengan yang tidak halal baginya, sampai musiknya yang menjadi-jadi.

Ikhtilath
Ikhtilath—campur baur antara laki-laki dan perempuan—di dalam angkot sudah merupakan hal yang lumrah sejak dulu di negara kita ini. Kalau dipikir-pikir, memang sayang sekali tidak ada angkot yang mengkhususkan untuk perempuan dan mengkhususkan untuk laki-laki. Apalagi negara kita ini sebagian besar penduduknya Muslim. Masa’ sih tidak ada yang menyadari kerusakan yang ditimbulkan oleh ikhtilath?

Karena aku dan kamu dan kita semua yang risih terhadap ikhtilath ini bukan orang yang bisa mengatur itu semua, kita bukan pemimpin, kita tidak punya kekuatan untuk mengubah, mungkin aku punya sedikit saran sebagaimana yang kulakukan tiap hari untuk akhwat yang terpaksa naik angkot sepertiku. Ikhtilathnya mungkin tidak bisa dihindari, tapi bersentuhan dengan orang yang tidak halal kita sentuh tentu bisa kita hindari.

1. Pilih angkot dan tempat duduk.
Kalau mau naik angkot, ukhti pilih yang tempat duduknya lapang untuk akhwat. Maksud aku, lihat dulu ke dalam angkot, apakah tempat duduk yang ada tidak pas di samping laki-laki. Kalau tempat duduk yang kosong tinggal yang di samping laki-laki itu, lebih baik ukhti cari angkot lain.

Tapi kalau berani, ukhti bisa minta kepada dua penumpang perempuan yang duduk berdampingan untuk duduk di antara mereka. Jujur, aku sering melakukan itu, aku tinggal bilang saja dengan sopan tentunya, “Boleh saya duduk di situ?”

Kalau diperbolehkan, ukhti duduk saja di situ. Tapi kalau tidak ada yang mau melapangkan tempat duduknya, ya ukhti cari angkot lain saja. Insya Allah, ada.

2. Bawa tas dan panggil perempuan.
Ada saat-saat yang sangat menegangkan dan menjengkelkan di dalam angkot—aku berlindung kepada Allah dari keadaan ini.

Kalau angkot lagi penuh dan tempat duduk yang kosong tinggal satu, sementara ukhti berada di dalamnya dan berada pas di samping tempat duduk kosong itu, terus angkot singgah dan? Masya Allah, si supir singgah untuk mengambil penumpang laki-laki—makanya kita perlu memperhatikan penumpang yang akan naik. Lalu bagaimana? Sementara tempat duduk yang kosongnya tinggal yang di samping ukhti?

Satu, panggil perempuan yang berada di samping ukhti untuk merapat dengan ukhti. Tidak usah malu. Daripada, daripada, daripada…?

Tapi kalau perempuan itu tidak mau?

Dua, ukhti gunakan tas yang ukhti bawa—usahakan bawa tas yang banyak isinya, bawa buku-buku, dll. Cepat-cepat taruh di samping ukhti. Biar saja orang mau pikir, ih, tas ko’ pakai didudukin segala, bikin tambah sempit saja. Toh, itu hanya sementara kan Ukhti?

Semoga Allah melindungi kita dari keadaan seperti ini.

Tapi ingat ukhti, kalau jarak tempat tujuan sudah memungkinkan untuk berjalan kaki, ukhti sebaiknya cepat-cepat turun. Tidak apalah ukhti jalan kaki beberapa jauh dari pada ukhti berada di samping laki-laki itu?

Semoga Allah melindungi kita dari keadaan seperti ini.

Eits, dua cara ini boleh dipakai dalam keadaan mendesak—ongkos pas-pasan, tidak bisa turun karena hujan deras, angkot tinggal itu satu-satunya yang ada.

Tapi, kalau ongkos masih ada, ukhti bisa turun dari angkot tersebut dan cari angkot lainnya.

3. Kalau ukhti duduk di samping tempat duduk yang kosong sementara di tempat duduk yang lainnya masih ada tempat duduk kosong, terus ada penumpang laki-laki yang ingin naik, ukhti cepat-cepat pindah ke tempat duduk kosong yang lain yang berada di antara perempuan, tapi ingat, minta izin untuk duduk di situ dan tidak usah malu untuk pindah.
Musik
Tidak jarang kita mendapati angkot yang di dalamnya penuh musik, musik, dan musik. Untuk menghindari keadaan ini, ukhti mungkin bisa melakukan cara-cara berikut:

1. Pilih angkot.
Saat pilih angkot, jangan naik dulu. Pilih, apakah angkot itu putar musik atau tidak. Kalau iya, mending ukhti pilih angkot yang lain.

2. Bertanya.
“Bisa matikan musiknya, Pak?”

Itulah kegiatan rutin yang aku lakukan sebelum naik ke angkot. Biasanya supir akan mematikan musiknya, takut penumpang tidak jadi naik. Dan alhamduliLLAH. Sekarang supir angkot sudah banyak yang mengerti, mereka biasanya mematikan musiknya.

3. Mau membaca atau belajar.
Biasanya, jika angkot sudah jalan, baru si supir putar musinya, ukhti bisa pakai alasan ini. Ambil saja buku di dalam tas ukhti terus bilang deh sama si supir untuk mematikan musiknya, karena ukhti mau belajar atau mau membaca. Tapi beneran membaca ya, pilih buku yang bermanfaat.

4. Mau telepon.
Kalau dalam keadaan seperti di atas, ukhti bisa alasan mau telepon. Tapi telepon beneran yah, sekalian silaturahim.

5. Menghadapi supir yang tidak mau mematikan musiknya.
Kadang ada juga supir yang tidak bersedia mematikan musiknya. Ya kita bisa turun dari angkot itu kalau punya ongkos lebih. Insya Allah dimudahkan.

6. Bawa MP3 yang isinya murottal sekaligus headset-nya.
Kalau memang sangat terpaksa berada di dalam angkot itu, ukhti sedapat mungkin selalu menyediakan MP3 di dalam tas. Isinya yang bermanfaat, mulai dari murottal, ceramah agama, dll. Jangan lupa bawa headset-nya, jangan sampai penumpang lain merasa terganggu.

Mungkin aku perlu menyelipkan sebuah kisah nyata di sini. Suatu hari, seorang ikhwan naik angkot. Ia betul-betul merasa terganggu dengan musik di dalam angkot itu. Tanpa ba-bi-bu, si ikhwan langsung berkata kepada si supir, “Maaf, Pak, bisa matikan musiknya?”

Si supir tidak mau, malah tidak menggubris sama sekali.

Untuk yang kedua kalinya, si ikhwan berkata lagi, “Maaf, Pak, bisa matikan musiknya?”

Si supir tetap saja tidak peduli.

Untuk yang ketiga kalinya si ikhwan menegur si supir karena sangat tidak tahan dengan musik yang lalu lalang seenaknya di telinganya, “Maaf, Pak, bisa matikan musiknya?”

Si supir tetap saja bandel, tidak peduli dengan si ikhwan yang sudah dari tadi tersiksa dengan musik di angkotnya. Si ikhwan yang merasa dicuekin dan tidak tahan lagi dengan musik di angkot itu lantas saja berkata, “Saya turun di sini saja, Pak.”

SubhanaLLAH, ikhwan ini tidak peduli dengan konsekuensi harus mengeluarkan kocek lebih besar lagi untuk naik di angkot lain. Dari pada tenggelam dalam kemaksiatan, uang beberapa ribu untuk menghindarinya tidaklah berarti apa-apa. Toh, rezeki itu yang atur Allah?

29 Januari 2011







































































































0 komentar: