Candu pada Hobi Lama

28 Des 2016



Antara kedalaman dan pendalaman

Teringat pekan lalu ketika menjadi juri lomba narasi--orasi lebih tepatnya--di porseni sekolah. Keadaan itu mengingatkanku pada beberapa masa silam, masa ketika Syifaa' masih eksis di panggung. 

"Ustadzah, ini harganya berapa?" tanya seorang ustadzah di sekolah sambil memperlihatkan Metamorfosa di tangannya. Ustadzah adalah panggilan guru-guru di sekolah.

"Itu tidak dijual, Ustadzah. Milik pribadi," kataku.

"Mau dijadikan hadiah porseni untuk siswa yang juara, berapa harganya?"

"Lima puluh lima ribu, Ustadzah. Tapi stoknya lagi kosong untuk saat ini," kataku sendu.

Aku kembali fokus pada peserta lomba, mereka sangat bersemangat berorasi tentang kondisi saudara kita di Suriah dan bagaimana seharusnya kaum Muslimin menyikapinya. Beberapa kali sempat tersentuh dengan penampilan mereka, hingga satu per satu kelompok siswa selesai menampilkan yang terbaik.

"Silakan kepada setiap juri untuk memberikan saran maupun kritikan yang membangun kepada seluruh peserta," kata MC porseni sambil tersenyum.

Berbicara dengan pelan, sesekali sketsa-sketsa masa itu berkelebat di depan mataku. Ah, masa lalu biarlah berlalu, pikirku.

Dua juri yang lainnya juga dipersilahkan untuk menyampaikan satu dua patah, satunya seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah ini dan yang satunya lagi seorang penulis buku. Seluruh siswa yang berada di ruang lomba, baik peserta maupun penontonnya tenang mendengarkan. Namun, saat lomba akan ditutup, tiba-tiba seorang ustadzah mengambil mikrofon dan berbicara.

"Tadi kita sudah mendengar komentar dari para juri, bagaimana kalau kita sekarang meminta juri untuk memperlihatkan bagaimana pembawaan yang benar di atas panggung?"

"Setuju...," sorak penonton.

"Tidak ada persiapan," bisik salah seorang juri di sampingku.

"Kalau saya, tidak bersedia tampil, Ustadzah," kataku lembut dan tegas.

"Ini, pakai buku Metamorfosa saja," kata ustadzah yang lain.

"Tidak," tolakku lembut dengan senyuman, "cukup bukuku saja yang mewakili di panggung, yah?"

"Ayolah, Ustadzah," bujuk mereka.

"Tidak bisa," kataku.

Akhirnya kedua juri lainnya naik ke panggung dengan luar biasa memukau. Aku kagum, masya Allah. Mereka membawakannya dengan mimik dan intonasi yang sesuai. Penonton ikut terbawa suasana.

------------------------------------------

Entah apa yang pembaca pikirkan tentang cerita di atas. Dan tentunya para penonton di kegiatan tersebut bertanya-tanya, kenapa seorang juri tidak berani tampil? Tulisan ini sengaja kuhadirkan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Menghilangkan syak yang bisa saja muncul di hati siapa saja.

Dulu, aku memang seorang pembaca puisi dan narasi di atas panggung. Mengikuti perlombaan semacam itu menjadi bagian dari hobi. Namun semenjak mengenal tarbiyah, kuputuskan untuk berhenti sampai di situ dan tidak akan pernah lagi. Ada apa sebenarnya dengan tarbiyah?

Tarbiyah adalah awal terjadinya metamorfosis pada diri yang lemah ini, betapa miskin ilmu, dan sedikit amal sholih. Keputusan itu adalah hasil akhir untuk hanya fokus menuntut ilmu, menulis, dan berda'wah bersama saudari-saudari seiman. Sedangkan untuk tampil di depan panggung, apabila terus kujalani, takut menjadi candu yang tidak mampu lepas. Seperti halnya seorang perokok, jika ia ingin berhenti total dari kebiasaannya, ia tidak boleh lagi mencoba satu-dua batang, karena bisa terikat kembali dengan rasa candunya. Begitu pula caraku menyikapi hal ini, aku tidak ingin mencoba hal-hal yang bisa menjadikanku terbiasa kembali.

Dari semua hal ini, aku sama sekali tidak menghukumi tampil di depan panggung--hanya bersama akhwat saja tanpa ada ajnabi, untuk memberi semangat dengan narasi--tidak boleh. Siapalah diri ini? Hanya saja ini adalah cara untuk tetap fokus pada hal-hal yang kuinginkan saja, tanpa harus terjatuh pada candu hobi lama.

Semoga tulisan ini bermanfaat, kalaupun ada hal yang tidak berkenan, mohon diampunkan kepada Allah. Saudarimu, Syifaa'.






0 komentar: