RUMAISHA, SI MUNGIL YANG PENYABAR, MUROBBIYAHKU BAGIAN I

10 Nov 2011



Senin, 16 Agustus-8 November 2011
Hari pertama aku pergi tarbiyah, di sebuah rumah, cukup dekat dari sekolah. Jalan kaki saja, begitulah adanya. Hari itu aku pergi bersama teman-teman sekelas.

Pertama melihatnya, aku tidak kaget atau apa pun namanya ketika melihat jilbabnya yang di atas lutut. Rasanya tidak asing meski aku tidak ingat apakah aku pernah melihat perempuan yang berjilbab sepanjang itu.

Ia menyambut kami dengan hangat, dengan senyumannya yang khas. Senang sekali. Akhirnya cita-citaku selama ini terkabul (aku ingin belajar Islam secara intensif tapi tidak tahu tempatnya di mana), Maha Besar Allah dengan segala keagungan-Nya.

Dengan suasana yang sangat baru aku duduk di dalam majelis mendengarkan setiap kata yang terlontar dari mulutnya. Sebelumnya, dimulai dengan membaca al-Qur’an secara bergantian. Hehehe, bacaanku sangat jelek, terbata-bata, tanpa tajwid, penyebutannya pun kocar-kacir (nah, di sinilah aku mulai belajar membaca dengan tartil). Aku membawa al-Quran milik omku, berwarna merah, tanpa terjemahan. Panjangnya sekitar 20x15 cm, dengan sabar ia membenarkan bacaan Qur’anku. Jujur, aku sama sekali tidak malu dengan bacaan Qur’anku, malah aku termotivasi untuk terus belajar. Apalagi mendengar bacaan teman-teman lain yang cukup lancar, lebih termotivasi lagi.

Hari-hari terus berlanjut. Di dalam majelis kami ada
beberapa orang. Tiga orang dari mereka adalah teman kelasku, Shofi, Luthfiyyah, dan A. Nin. Seorang adik kelas, namanya Afra’. Dan beberapa teman sekolah lainnya. Sayangnya, yang tetap bertahan di dalam majelis hanya ada beberapa orang. Ya, kami-kami ini, aku, Shofi, Luthfiyyah, Afra’ dan Nin-chan.

Sayang, Nin-chan pun jadi jarang hadir. Bisa dimaklumi, karena rumahnya sangat jauh, sekitar setengah jam dari sekolah, ia juga memiliki banyak sekali kegiatan yang menguras tenaga.

Suatu hari di suatu waktu, setelah tarbiyah, murobbiyahku mengajak kami berkunjung (sebenarnya bukan sekedar berkunjung, tapi memang ia ada perlu) di rumah seorang akhwat (yang nantinya akan menjadi murobbiyaku juga, tapi itu kisah lain lagi). Akhwat itu seorang ummahat, anaknya dua, suaminya seorang ustadz yang memiliki pekerjaan tetap (kukatakan ini sebagai sanggahan pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa kebanyakan ustadz tidak mau bekerja menghidupi istrinya, apalagi ustadz yang istrinya berjilbab panjang).

“Saya telepon dulu Kak Yanti,” kata murobbiyahku. Oh, iya, nama murobbiyahku yang satu ini adalah Rumaisha, Kak Rumaisha. “Tidak tersambung,” lalu berkata dengan agak ragu,“Mungkin ke hape abahnya Aisyah saja, siapa tahu Kak Yanti yang angkat.” Hmm, kelihatannya ada urusan yang sangat penting dengan Kak Yanti sampai-sampai harus terpaksa menelepon ke hape abahnya Aisyah (Aisyah nama anak pertama Kak Yanti).

Yaaah, perkiraan Kak Rumaisha salah, yang angkat ustadz (abahnya Aisyah). Seakan-akan aku bisa mendengar jantung Kak Rumaisha berdegup kencang, aku juga jadi ikut tegang. Mungkin ada yang berpikir ini hanya hal biasa, apa yang membuat Kak Rumaisha harus tegang begitu? Jawabannya karena memang Kak Rumaisha selalu menjaga pergaulan dan jarang berbicara dengan laki-laki. Sampai-sampai, tangan Kak Rumaisha gemetaran loh. Dengan percakapan yang singkat, bahkan sangat singkat, dan sengaja dipersingkat, Kak Rumaisha pun menutup teleponnya. Jawabannya? Ustadz masih di kantor dan katanya Kak Yanti ada di rumah, jadi datang saja. Cukup sampai di sini tentang Kak Yanti, akan ada halaman khusus tentang dirinya, insya ALLAH.

Suatu hari, aku, Shofi, Lutfiyyah, Nin-chan, dan Afra’ ada di rumah sakit, sedang menjenguk teman. Rumah sakitnya hanya berada di depan sekolah kami. Jadi, ketika ada waktu lowong, kami hanya tinggal menyebrang jika ingin ke rumah sakit.

Ada telepon dari Kak Rumaisha di hape Shofi (hanya Shofi yang sering bawa hape ke sekolah, karena kami memang butuh itu). Setelah telepon ditutup, wajah Shofi berubah, ada apa?

Katanya Kak Rumaisha akan digantikan, yang akan menjadi murobbiyah kami adalah Dokter Lia. Hah…? Bagaimana bisa? Ada apa? Karena apa? Mungkin itulah sekelebat pikiran yang beradu di kepala kami waktu itu. Kami sudah terlanjur mencintai Kak Rumaisha. Kami juga mencintai Dokter Lia, tapi jika harus mengganti Kak Rumaisha, kami tidak rela….

Setelah tarbiyah di pekan yang sama (Oh, ya, tempat tarbiyah kami sudah pindah ke mesjid sekolah, karena rumah yang kemarin kontraknya sudah habis dan pemiliknya ingin tinggal di sana), Kak Rumaisha ternyata serius akan digantikan oleh Dokter Lia. Sedih sekali waktu itu, sangat sedih. Kami merajuk pada Kak Rumaisha agar ia saja yang tetap mengisi tarbiyah kami, tidak usah yang lain. Katanya, jika Dokter Lia lebih bagus karena rumah Dokter Lia dekat dari sekolah (rumah Kak Rumaisha sebenarnya sangat jauh dari sekolah). Kami tetap saja tidak rela. Sekali lagi kukatakan kami mencintai Dokter Lia, tapi kami juga sudah terbiasa dan amat terbiasa Kak Rumaisha yang mengisi tarbiyah kami.

Hari itu mata kami basah, terus-menerus menolak Kak Rumaisha diganti. Sampai akhirnya…, hehehe, alhamduliLLAH, Kak Rumaisha sepakat tetap menjadi murobbiyah kami. Dasar, kami memang anak-anak manja (hanya pada murobbiyah kami saja). Tak kusangka, Kak Rumaisha begitu sabar menghadapi kami.

Oh, ya, setelah penerimaan siswa baru di tahun 2009, ada yang baru loh di halaqah kami, namanya Dian, lebih muda dua tahun dariku, tapi telah hamil lima bulan, tentu saja karena sudah menikah. Wah, jadi iri sama Dian, hehehe…, aku yang sudah 19 tahun sekarang ini malah masih sibuk mengurus da’wah dan kuliah.

Baiklah, sedikit cerita tentang Dian. Suaminya mengenal Dian karena suaminya itu mengenal orang tua Dian. Dan mungkin dari sanalah cinta itu datang hingga ingin ia cepat-cepat memperbagus niatnya dengan melamar Dian. Suaminya itu sudah melamarnya berkali-kali, tapi Dian senantiasa menolak. Mungkin mengingat usianya yang masih muda hingga Dian menolak (menurutku menikah muda itu sangat bagus jika perempuannya sudah baligh, sangkaan menikah muda jelek kutolak mentah-mentah karena mamaku juga menikah pada usia 16 tahun dan punya empat anak tuh…). Tapi, yang namanya jodoh, sekarang mereka sudah menjadi suami istri dengan seorang anak. Hidup bahagia di bawah Dien yang benar. Wah, syahduhnya….

Tahun 2009, Kak Rumaisha telah dilamar oleh seorang ikhwah dan ia belum mengabari kami sama sekali. Aku pertama kali mengetahuinya dari Ummu Shofiyyah. Dengan rasa kaget dan kesal (kesalnya kesal sayang) aku tanya saja Kak Rumaisha, kenapa tidak memberi tahu kami tentang kabar gembira itu?

Hari itu, aku pergi mengajar mengaji di TK/TPA di mesjid. Jadwal ustadzah yang mengajar bergiliran. Dan hari itu jadwalku bersama Kak Rumaisha. Langsung saja kugoda dengan pertanyaanku. Ia menjawab malu-malu. Setelah anak-anak selesai mengaji, kami berkunjung ke rumah Ummu Shofiyyah yang dekat dari masjid. Di sana Kak Rumaisha mendapat nasihat pernikahan.

“Waduh, Syifaa’ jadi dengar nasihat pernikahan,” kata Ummu Shofiyyah agak bercanda.

“Tidak apa-apa lah, Kak,” jawabku. Mendengarnya lebih awal, kan, tidak mengapa. Setiap Muslim, kan, punya cita-cita menikah untuk melengkapi sebagian diennya…?

Sehari sebelum hari pernikahan Kak Rumaisha, aku, Shofiyyah, Luthfiyyah, Nin-chan, Dian, dan Nurul (sepupu ipar Dian yang perempuan sehalaqah kami juga) ke rumah Kak Rumaisha dengan mobil pribadi Dian, yang menyetir suami Dian. Mmm, agak sungkan juga sih, tapi Dian sangat baik sehingga kami pun merasa nyaman.

Kami disambut oleh calon pengantin yang mungil, Kak Rumaisha. Kami pun makan malam. Setelah shalat magrib, Dian dan sepupunya pulang dijemput suami Dian (suami Dian tadi hanya mengantar dan langsung pulang). Sementara aku, Shofi, Luthfiyyah, dan Nin-chan pun menginap di rumah Kak Rumaisha. Ssst, kami tidur di kamar pengantin yang sudah di dekor dengan warna merah muda dipenuhi bunga-bunga yang indah.

Kami tidur di atas ranjang pengantin, tiba-tiba Kak Rumaisha bilang, “Saya tidur di bawah saja ya, Dek?”

“Ah, jangan, Kak…,” kata kami tidak setuju.

“Tidak apa-apa, nanti kalian sempit kalau kakak ikut tidur di situ.”

“Jangan Kak…,” kata kami memelas.

Kak Rumaisha pun mengalah dan tidur bersama kami. Tengah malam saat kami tertidur pulas, ternyata Kak Rumaisha tidur ke bawah. Ah, kakak, baik sekali….

Setelah shalat subuh, kami bersiap-siap. Kami memakai gamis berwarna biru juga jilbab dengan warna senada. Kami merupakan panitia pernikahan Kak Rumaisha. Menyenangkan sekali. Tamu-tamu berdatangan dan kami menyambut semua tamu perempuan dengan senyum. Di balik hijab, kami merasa sangat nyaman karena tidak perlu khawatir ada laki-laki yang melihat kami. Kami menyiapkan makanan mereka sementara Kak Rumaisha masih berdandan. Akhirnya, Kak Rumaisha pun keluar dan turun ke pelaminan perempuan. Ia cantik dengan gaun putihnya. SubhanaLLAH, bahagianya hari itu.

Setelah acara walimah selesai, kami foto-foto dengan pengantin perempuan. Dasar kami yang masih SMA.

Beberapa hari kemudian, kami masih tarbiyah dengan Kak Rumaisha. Bertemu dengan Kak Rumaisha, wajahnya agak malu-malu. Kakak pun bercerita bahwa suaminya sering membangunkan shalat malam. Kakak juga bercerita bahwa setiap hari harus belajar membuat sarapan untuk suami tercinta.

Setelah itu, aku dan teman-teman pun bersedih, karena harus mengganti murobbiyah. Berpisah dengan Kak Rumaisha, ah, sedihnya….

Hari terus berlalu, bulan berganti, tak menyangka itu sudah dua tahun yang lalu, tahun 2009 tepatnya. Dan sudah tiga tahun yang lalu sejak pertama kali Kak Rumaisha mengisi halaqah tarbiyah kami. Dan sekarang, Kak Rumaisha bernama Ummu Afif….

Semoga bermanfaat Teman, waLLAHU a’lam...

2 komentar:

winda wuLandari taufik mengatakan...

kangen kak Rumaisha :'(

Khanza Asy-Syifaa' mengatakan...

Ana juga ukthti...