MENINGGALKAN DUNIA TULIS-MENULIS FIKTIFKU

1 Apr 2011



Entah dari mana awalnya aku harus menceritakan ini. Kadang-kadang ada suatu rasa rindu yang tidak bisa kuungkapkan seperti biasanya aku mengungkapkan segalanya lewat kata-kata. Tapi, kerinduan ini sebenarnya tak semestinya aku rasakan. Karena, aku meninggalkannya memang karena betul-betul dengan niat untuk taat kepada ALLAH Subhanahu wa Ta'ala dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan yang menyertainya.


Yah, memang jika terlalu lama bersama sesuatu maka ketika kita meninggalkannya, suatu hari kita bisa saja merindukannya. Huff..., aku bertahun-tahun (dari kecil) bergelut dengan angan-angan, membayangkan banyak hal di kepalaku. Bisa dibilang aku adalah orang yang memiliki imajinasi yang sangat tinggi. Aku suka memikirkan hal-hal di luar yang biasa dipikirkan orang lain pada umumnya. Bahkan kadang-kadang orang di sekitarku menganggap yang kukatakan agak aneh. Yah, aku suka memikirkan sesuatu di balik sesuatu. Itulah juga yang menyebabkanku menjadi penulis cerita fiktif. Dari kecil aku suka menulis cerita apa saja dan puisi apa saja. Dari kecil aku juga selalu menulis buku harian, bahkan sampai hari ini. Sejak SMP kelas satu, aku telah menulis tujuh buah novel, baru satu yang kurampungkan dan yang lainnya masih setengah. Karena, mungkin aku memiliki terlalu banyak ide gila yang harus kutuliskan. Aku juga sudah menulis ratusan puisi, puluhan syair, dan puluhan cerpen. Di sini aku bukan ingin membanggakan diri atau yang semacamnya, tapi semoga bisa jadi pelajaran buat kita semua.


Menulis membuatku bisa mengeluarkan seluruh hal yang ada di kepalaku. Karena ketika aku menyimpannya, serasa itu tak ada artinya. Dan, mungkin di situlah aku merasakan kenikmatan yang begitu hebat.


Sejak kecil aku termasuk orang yang tidak suka menceritakan semua yang aku rasakan dan yang aku pikirkan (kecuali saat ini, setelah aku rutin tarbiyah aku menjadi orang yang supel). Aku sering mengobrol dengan teman-teman, hanya mengenai apa yang telah aku baca, berita apa yang aku lihat di TV, apa yang aku alami, sebatas itu saja. Tapi, pikiranku yang melanglang buana??? Lewat menulis, segala perasaanku tentang sesuatu, segala pendapat-pendapatku, segala imajinasiku, aku tuangkan ke dalam tulisan-tulisanku.


Menulis telah memberikanku kepuasan tersendiri. Bahkan dalam tiap harinya aku harus menulis sesuatu. Entah itu puisi, cerpen, atau menyambung novelku. Tapi, pada akhirnya aku harus meninggalkan seluruh dunia imajinasiku ke alam nyata. Karena, aku ada di dunia yang nyata, tidak seperti yang orang tasawwuf bilang, bahwa kita ini (makhluk) belum tentu nyata (aku mengetahui hal ini karena pernah mendengar dari seorang uztads yang beraliran tasawwuf) .


Baiklah, kali ini aku ingin bercerita, betapa sulit meninggalkan dunia fiktif-ku.

Mungkin mulai dari hobiku membaca apa saja dari kecil, bungkusan kecap, koran bekas, buku cerita di sekolah yang dulunya kakekku sebagai kepala sekolahnya, bungkusan bumbu penyedap, pamflet-pamflet di dinding, tulisan berjalan di televisi, brosur-brosur, iklan-iklan di jalan, semuanya, aku baca satu-persatu, setiap karakter. Bahkan aku lupa sejak kapan aku sudah mulai bisa membaca dan kapan sebenarnya aku belajar membaca? Waktu masuk TK aku ingat sekali aku telah lancar membaca. Pernah kutanyakan kepada bapakku, sejak kapan sebenarnya aku bisa membaca? Karena seingatku aku sudah bisa membaca sebelum TK, aku biasa ke perpustakaan di sekolah kakek dan membaca buku-buku cerita yang ada di sana.


Bapakku pun menjawab diawali dengan sebuah cerita pendek:

“Dulu waktu bapak menemani kamu waktu kecil ke puskesmas, bapak sering menyuruhmu membaca poster di dinding, dan kamu membacanya dengan lancar.”

“Kalau begitu, sejak kapan aku mulai bisa membaca, siapa yang mengajariku?” tanyaku penuh rasa penasaran.

“Yang pertama kali mengajari kamu, ya, mama kamu. Dari kecil kalian semua itu sudah diajari mengenal huruf dan diajari membaca.”

Hmm..., ternyata mamaku tersayang yang telah mengajarku sejak kecil? Hebat, kan? Mamaku itu cuma tamatan SMP, tapi memiliki anak-anak yang sudah bisa membaca sejak kecil. Aku sungguh bersyukur pada ALLAH Subhanahu wa Ta'ala yang Maha Baik telah memberiku mama yang hebat.


Hum..., sebenarnya terlalu jauh mukaddimah tulisan ini.

Duduk di SD aku mulai menulis buku
harian. Aku pertama kali menikmati kehebatan menulis di SD kelas IV. Hari itu kami disuruh membuat pantun (saat itu aku tidak tahu pantun itu seperti apa), karena aku bukan anak yang suka menyontek aku mengerjakan pekerjaan rumah itu sendiri, tapi ternyata aku menulis puisi, saat menulisnya ada perasaan yang tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Saat itu aku belum tahu ternyata yang aku tulis itu adalah puisi.


Aku mengenal kata puisi ketika aku kelas VI SD. Ada lomba membaca puisi yang akan dibawakan oleh temanku di lomba pramuka tingkat kota madya. Setelah aku melihat contoh puisi, aku juga ingin menulis puisi. Dan terciptalah puisi yang berjudul Asyiknya Nontek. Sebenarnya puisi ini sebagai kritikan pedas pada teman-temanku yang suka menyontek.


Di SMP aku mulai mengenal baik tentang cerpen. Aku pun membuatnya. Rasanya sangat menyenangkan. Ada kepuasan tersendiri. Jadilah aku menulis setiap hari. Kadang aku menulis dua cerpen dan belasan puisi per harinya. Sangat nikmat. Imajinasiku berjalan begitu kencang. Tak henti-hentinya aku menulis, menulis, dan menulis.


Sampai pada aku hobi membaca novel. Aku meminjam novel apa saja pada teman-teman dan di sekolah. Aku membaca dan berniat juga menulis novel. Itu bermula pada saat aku duduk di bangku SMP kelas dua, judulnya The Wolf Man, bercerita tentang beberapa orang anak belasan tahun di sebuah negara di Eropa yang mengalami pengalaman hebat. Terjadi beberapa pembunuhan di lingkungan sekolah mereka. Sampai pada suatu hari mereka melihat ada yang aneh pada sebuah gua dengan nama perempuan, tidak ada yang boleh masuk ke dalam sana kecuali orang yang menjaga di gua itu. Tapi, mereka begitu penasaran. Mereka pun menyusun sebuah rencana untuk masuk ke gua itu walau akhirnya mereka ketahuan. Tapi, mereka tidak sia-sia masuk ke dalamnya karena sempat menemukan sebuah rahasia besar. Setelah itu, mereka menyusun rencana lagi hingga akhirnya mereka bisa bertahan lebih lama di dalam gua. Karena penuh dengan rasa ingin tahu, akhirnya mereka menemukan hal yang lebih banyak lagi. Di dalam gua inilah mereka mendapat pengalaman buruk dan menantang karena harus berhadapan dengan Wolf Man. Hum..., tidak kulanjutkan karena aku punya ide lainnya dan The Wolf Man? Ku-pending dulu.


Setelah itu aku menulis novel yang berjudul Berdiri di Atas Berbaring. Ini novel yang berlatarbelakang jaman dulu, berkisah tentang seorang gadis muda terpandang yang dijadikan tumbal oleh keluarganya sendiri karena tidak mau menikah. Dan terjadilah ritual kejam itu di hadapan banyak orang. Mereka melakukan hal tersebut karena adat yang mendarah daging (mereka menyembah nenek moyang mereka), katanya jika seorang gadis tidak ingin menikah itu menghina nenek moyang. Lalu kisah itu berlanjut di masa mendatang dan penuh dengan kisah-kisah mistik (astagfiruLLAH, aku tidak menyangka pernah menulis kisah seperti ini, ampuni aku, ya, ALLAH).


Kemudian, pada SMA kelas satu aku menulis novel (novel ini kadang-kadang membuatku merasa, entahlah perasaan apa ini) yang berjudul Sakura Musim Semi (setelah Sakura Musim Semi aku sempat menulis setengah novel lagi yang belum berjudul). Sakura Musim Semi adalah novel yang pertama kali rampung. Kutulis selama lima bulan. Judulnya kutentukan setelah novelnya rampung. Novel ini berkisah tentang beberapa anak SMA. Settingnya ada di Indonesia dan ada juga di Jepang. Makanya, di dalamnya ada beberapa kalimat memakai bahasa negeri Sakura itu. Aku tidak bisa menceritakan bagaimana kisahnya. Cukup aku dan teman-temanku yang sudah membacanya saja yang tahu.


Setelah naik ke kelas dua, aku berniat menerbitkannya. Aku mulai mengetik novel itu di komputer temanku (aku tidak punya komputer, kutulis novel itu di tiga buah buku tulis tebal). Tapi, ada yang sangat mengherankan, setiap aku menulis beberapa halaman, selalu saja fileku bermasalah. Entah file itu tidak bisa dibuka atau file itu hilang. Aku bingung. Makanya, aku mengakalinya. Aku mengetik lalu langsung ingin ku-print. Tapi, aku harus mencetaknya di warnet. Seribu rupiah per lembar! Temanku sebenarnya mau mencetakkannya untukku, tapi aku tidak mau merepotkan. Aku menabung uang jajanku untuk mencetak novelku itu (dari seorang penulis yang novelnya terkenal pernah mengatakan kepadaku bahwa ketika kita ingin mengirimkan tulisan, sebaiknya dicetak).


Sembari menunggu uangku terkumpul banyak, aku mengirim puisi-puisi dan cerpen-cerpenku ke koran-koran. Sebuah puisi pernah diterbitkan, judulnya Mengapa Israel?

Hum..., ternyata uangku sudah lumayan banyak dan aku siap mencetak novelku.


Ironis, aku sebagai bendahara kelas menghilangkan uang kelas, entah uang itu ke mana. Aku harus menggantinya dan uang itu sebanding dengan uang yang aku tabung untuk mencetak novelku. Tarpaksa, dengan rasa tanggung jawab sebagai seorang bendahara aku mengganti uang kelas itu dengan uang yang telah aku tabung selama berpekan-pekan.


Tahu tidak, Teman? Ternyata, hal yang begitu sangat membuatku sedih karena harus menunda pencetakan novelku ke depannya menjadi sebuah kesyukuran yang tak tehitung kepada ALLAH Subhanahu wa Ta'ala. Kenapa?

Suatu hari, aku menyadari bahwa hobiku menulis ternyata lebih banyak cerita bohong. Cuma sebagai hiburan bagi orang-orang. Pembaca-pembacaku ternyata hanya akan buang-buang waktu dengan membaca tulisanku. Bukankah di dalam Islam kita tidak boleh berbohong dan membuat saudara seiman rugi? Apalagi jika karena asyik membaca tulisanku itu mereka meninggalkan shalat, mereka meninggalkan ibadah yang harusnya mereka kerjakan? Jangan sampai ada yang terpengaruh oleh cerita-cerita bohong itu meski mereka tahu itu adalah cerita fiktif. Tapi, bagaimana jika ada orang yang berpikir tulisanku adalah kisah nyata? Bagaimana kalau.... Entahlah, yang kumau pembacaku tidak rugi sedikit pun disebabkan oleh tulisan-tulisanku.

Maha Besar ALLAH dengan segala nikmat yang Dia berikan kepadaku, sehingga aku bisa berpikir terbuka dan tidak tenggelam dalam imajinasi-imajinasi kosongku itu.


Setelah kesadaran itu, aku meninggalkan tulis-menulis cerita fiktif (ini sebenarnya sulit sekali, tanyakan saja kepada penulis-penulis lainnya, bagaimana beratnya meninggalkan hobi yang telah mendarah-daging ini. Beberapa bulan setelah itu aku merasa kehampaan yang sangat mengabutiku. Tapi, ketika aku memikirkan bahwa inilah salah satu bentuk ketaatan kepada ALLAH Subhanahu wa Ta'ala, aku menjadi lebih kuat). Aku mulai membuka dunia kepenulisan yang baru. Aku menulis kisah-kisah nyata dan yang aku lihat di depan mataku. Walau sebenarnya aku begitu menyadari, kadang-kadang ada kerinduan untuk menulis cerita fiktif lagi. Tapi, TAK AKAN KULAKUKAN.


Menghibur orang dengan tulisan-tulisan kita tidak harus membohongi mereka. Tapi, beri kenyataan kepada mereka, beri kehangatan dengan mendekatkan mereka pada hal-hal yang ada di sekeliling mereka. Bukan begitu?


“Kepuasan seorang penulis tidak terletak pada gaji yang ia dapatkan dari menulis, tapi kepuasan seorang penulis terletak ketika ia menulis, banyaknya orang yang membaca tulisannya, dan tulisannya bermanfaat bagi pembacanya.”(Khanza’ Asy-Syifaa’, 31 Maret 2011)


Semoga tulisan ini bermanfaat, waLLAHU A’lam...

31 Maret 2011

























































0 komentar: